Saya tidak tahu, apakah saya adalah salah satu
dari kesekian banyak manusia angkuh di dunia. Namun satu hal yang saya dapat
pastikan saya orang yang sangat angkuh untuk orang-orang yang berada
disekeliling saya dan itu akan sangat merugikan bagi mereka. Saya sangat
mengedepankan kesempurnaan dan ketegasan. Itu mungkin karena saya dididik
dengan cara yang sama sehingga bentukan itu masuk kedalam prinsip hidup saya.
Dan kata orang-orang disekeliling saya itu akan merugikan saya kedepannya. Itu
sudah saya rasakan dewasa ini, sikap otoriter dan tegas terlalu membuat saya
terlihat dominan disekian banyak lingkup pergaulan yang saya lewati dan tidak
semua orang suka diperintah dan disuruh.
Entah dengan
cara bagaimana saya bisa menghilangkan sikap buruk ini, terus terang saya benci
dengan sikap saya sendiri, akibatnya banyak orang-orang disekitar saya tidak
tahan jika harus berhubungan atau bekerjasama dengan saya dalam satu momen
tertentu atau bahkan tiap momen.
Dari sekian
perjalan hidup saya yang baru saya buka, ada satu pengalaman yang sampai
sekarang saya ingat. Saat saya akan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi.
Saat itu saya harus mengikuti bimbingan intensif untuk dapat mengikuti ujian di
daerah malang. Disana saya tinggal selama sebulan di Malang, mengenal teman
baru dan harus bisa langsung akrab dalam waktu singkat, jika tidak maka
bersiaplah untuk melakukan segalanya sendirian di lingkungan yang baru.
Untung saja
saya disana tidak berangkat sendirian, saya bersama teman masa SMP dan SMA saya,
Inayah namanya. Tapi tidak setiap momen kita harus berbarengan, jadwal
pembelajaran intensif yang berbeda membuat kami jarang pulang bersama ke kosan
kami.
Suatu hari
dikelas bimbingan saya, ada salah satu orang yang mencoba akrab dengan saya,
saya lihat dia memang gadis yang supel, teman dikelas rata-rata sudah
mengenalnya, saya bilang dia salah satu anak gaul di kelas saya. Kali ini dia
ingin mencoba akrab dengan saya, mungkin karena saya salah satu murid yang
hanya datang saat belajar dan langsung pulang jika kelas bubar, memang saya
tidak ingin berniat bersenang-senang dulu pada tahap ini, keluarga saya sudah
mengeluarkan uang yang cukup besar untuk mendaftarkan saya les intensif diluar
kota, agar saya dapat lulus ujian SNMPTN
perguruan negeri dan mengambil beasiswa yang diberikan Negara jika saya
berhasil masuk perguruan tinggi negeri. Saya berpikir bukan saatnya saya mencari
teman di lingkungan ini, saya hanya harus bisa beradaptasi di tempat baru dan
belajar dari hasil bimbingan saya. Prinsip saya, jika saya sudah memilih suatu
pilihan dan itu menyangkut kelangsungan dan nama baik keluarga saya, saya harus
bisa perjuangkan, saya anak pertama, meskipun saya seorang wanita, takdir saya
adalah menjadi tulang punggung keluarga, jika suatu saat orang tua saya sudah
tidak sanggup lagi bekerja. Karena waktu tidak akan berhenti, orang tua saya
akan semakin menua, uang tidak akan datang jika saya bukan siapa-siapa…
Kembali
kecerita, teman gaul saya ini bernama Juta. Unik memang namanya tapi saya rasa
dia dari keluarga yang mapan dan dia tidak terlalu ambisius seperti saya.
Apa-apa dia bawa mudah, apapun dia hadapi dengan senyum dan candaan. Jujur saya
iri dengan mereka yang bisa dengan mudah melupakan pikiran dan bisa sejalan
dengan tujuannya serta tidak begitu berpikir akan target hidup mereka, tapi
ayah saya selalu berkata “Jangan pernah kamu samakan hidupmu dengan hidup orang
yang memiliki orang tua mapan diluar sana. Mereka bisa tersenyum dan menikmati
hidup dari uang orang tua mereka, tapi kamu? Lihat kemampuan orang tua kamu.
Ayahmu tidak bisa memberikan apa-apa, hanya kamu yang bisa memberikan apa yang
kamu inginkan, dari usahamu sendiri” itu yang selalu saya ingat, saya masukan
kedalam prinsip hidup saya. Saya yakin dengan ambisi besar saya ini, jika waktu
dan takdir tidak memihak saya kedepannya, saya akan menjadi orang gila, stress.
Adakala
seorang berkata saat saya mengupdate status “Beban Jika Anak Pertama Adalah
Wanita, Saya Tidak Bisa Bermimpi Untuk Diri Saya Sendiri, Tapi Harus Bermimpi
Untuk Keluarga Saya” dia berkata “Akan Menjadi Beban Kalau Kamu Jadikan Itu
Beban” lalu dengan cara apa saya tidak menganggap itu sebuah beban? Itu yang
selalu saya pertanyakan. Mereka tidak tahu hal apa yang saya tergetkan, jika
terlalu saya bawa santai apa itu bisa saya sebut target? Target adalah hal yang
kita harapkan bisa kita capai, target adalah hal yang tidak mudah kita raih,
manusia mana yang tidak akan bilang kalau target adalah beban? Jika mereka
tidak pernah berkata demikian maka mere.ka munafik. Saya memang sudah merasa
hidup saya bukan untuk saya, saya selalu bermimpi bisa menjadi ibu muda, saat
saya berbicara kepada ayah saya tentang harapan saya itu ayah saya hanya
terbahak dan berkata, “Kalau kamu nikah muda, anak kamu mau kamu kasih makan
apa? Kerja aja belum” saya rasa, memang jika saya mengakhiri masa lajang saya
dengan segera, saya tidak akan punya waktu menabung, membantu keluarga, dan
pasti sibuk menggendong anak bayi yang nangis terus-terusan. Tapi itu bukan
masalah bagi saya, saya suka anak kecil.
Lucunya pacar
saya yang ngebet nikahi saya ngasih solusi dengan bilang “gak perlu sampai
harus mapan hingga kebutuhan tersier bisa dipenuhi, itu tergantung diri
masing-masing. Kalau pingin anak kita bisa hidup enak nanti, kita aja yang
perlu memepetkan pengeluaran kalau berumahtangga nanti, bisa aja tiap hari
cuman makan tahu tempe aja udah cukup. Gak usah aneh-aneh” okey saya merasa ada
yang salah dengan komentarnya. Apakah anda merasa ada yang salah dengan
komentar di atas?
Kembali
kecerita Juta dan saya. Nah ada satu cerita yang tidak bisa saya cerita karena bakalan
panjang dimana membuat Juta jadi sebal dengan saya dan menganggap saya bukan
orang yang asik buat diajak berteman karena tidak mengerti “peraturan
pertemanan”. And someday sewaktu saya diajak makan dengan beberapa teman saya,
dan setelah saya mengambil pesanan saya duluan, saya menunggu pesanan teman
saya yang belum juga datang. Teman-teman saya yang tahu saya menunggu
mempersilahkan saya untuk makan terlebih dahulu jika memang sudah lapar, maka
saya meminta ijin untuk makan duluan dan lansung melahap makanan di depan saya.
Ketika itu Juta juga datang dan apa yang dia ucapkan ketika melihat saya “eh,
kamu kok makan duluan sih? Gak sopan! Yang lainnya belum makan juga” kata-kata
itu yang membuat saya heran sampai sekarang. Memangnya gak sopan ya kalau saya
makan duluan sementara yang lainnya belum makan? Akhirnya di momen-momen
tertentu ketika saya berteman saya lebih sering menunggu semua pesanan datang
dan saya makan bersama dengan teman lain. Di momen tertentu juga saya sering
tahu seorang dengan setianya menunggu pesanan temannya datang walau lama, ada
juga yang meminta ijin untuk makan duluan, atau bahkan ada juga yang tidak usah
ijin langsung saja makan. Bagi saya smuanya tidak masalah. Tapi memang lebih
baik makan bersama
Tapi beberapa
hari yang lalu itu yang jadi masalah buat saya. Saat saya keluar dengan pacar
saya. Kami memesan dua pesanan yakni nasi goring pataya dan bihun goreng dan
kebetulan punya nasi goring pataya milik dia datang duluan. Karena saya pikir
dia mungkin sudah lapar maka saya persilahkan untuk makan duluan TAPI dengan
harapan dia gentle bilang “ntar aja
bareng kamu makannya”. Tapi tanpa ragu pacar saya menggangguk dan melahap
makanannya. Ntah kenapa saya jadi sensitive dan saya ikut berpikir seperti Juta
“dasar gak sopan”, hingga makanan pacar saya habis pesanan saya belum juga
datang. Beberapa saat kemudian sampai saya terkantuk-kantuk pesanannya akhirnya
datang. Saya sungkan dengan pacar saya, karena saya makan sendiri, akhirnya
saya tawari dia untuk ikut makan bersama saya dan saudara dia ikut nimbrung
makan “ih udah makannya duluan, ikut nimbrung pula, gak sopaaaannnn!!” Saya
makin sebel, saya ingin mempunyai pacar gentle, lebih tegas dari saya dan itu
tidak bisa saya temui. Huft…punya prinsip perfectionist itu bikin susah…itu
yang membuat saya ilfeel dengan pacar saya hingga sekarang. (dasar gak penting)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar